Ditulis oleh Abu
‘Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy
I. PENDAHULUAN
Pakaian dikenakan oleh seorang muslim
maupun muslimah sebagai ungkapan ketaatan dan ketundukan kepada Allah, karena
itu berpakaian bagi seorang muslim memiliki nilai ibadah. Karena itu dalam
berpakaian ia pun mengikuti aturan yang ditetapkan Allah.
Manusia dengan segala peradabannya memiliki naluri untuk mengembangkan apa yang ada, termasuk dalam perkembangan model pakaian. Tidak bisa dipungkiri lagi model pakaian yang ada di era globalisasi ini banyak menyadur dari dunia barat. Tapi umat Islam haruslah tetap bercermin terhadap syari’at Islam yang Rasulullah lah yang menjadi suri tauladannya, tidak mengabaikan apa yang menjadi batasan-batasan berpakaian sesuai syari’at Islam.
Dalam hal ini akan dibahas lebih lanjut tentang segala yang berhubungan dengan tema makalah ini yakni “Pakaian”. Adapun yang akan diuraikan adalah pengertian dari pakaian, syarat-syarat berpakaian menurut syari’at Islam, fungsi dari pakaian,warna pakaian yang disukai Rasulullah serta etika dalam berpakaian.
Manusia dengan segala peradabannya memiliki naluri untuk mengembangkan apa yang ada, termasuk dalam perkembangan model pakaian. Tidak bisa dipungkiri lagi model pakaian yang ada di era globalisasi ini banyak menyadur dari dunia barat. Tapi umat Islam haruslah tetap bercermin terhadap syari’at Islam yang Rasulullah lah yang menjadi suri tauladannya, tidak mengabaikan apa yang menjadi batasan-batasan berpakaian sesuai syari’at Islam.
Dalam hal ini akan dibahas lebih lanjut tentang segala yang berhubungan dengan tema makalah ini yakni “Pakaian”. Adapun yang akan diuraikan adalah pengertian dari pakaian, syarat-syarat berpakaian menurut syari’at Islam, fungsi dari pakaian,warna pakaian yang disukai Rasulullah serta etika dalam berpakaian.
II. HADITS
عَنْ اِبْنِ عَبَاسٍ قَالَ:قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَم:الْبَسُوْمِنْ ثِيَابِكُمْ الْبَيَاضَ؛ فَاِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِياَبِكُمْ, وَكَفِّنُوْافِيْهَا مَوْتاَكُمْ (اخرجه أبوداودوالترمذي والطبراني)[2]2
Artinya: Dari Ibnu Abbas R.A., ia
berkata: Rasulullah saw. bersabda: “pakailah pakaian berwarna putih. Karena
pakaian putih adalah pakaian yang paling baik. Dan kafanilah orang yang
meninggal dengan kain putih.”(H.R Abu Daud dan Tirmidzi)[3]
وَعَنْ اَبِيْ رِمْثَه رِفاَعَة التَّيْمِيْ ـ رَضِيَّ اللهُ عَنْهُ ـ, قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَم ـ وَعَلَيْهِ ثَوْبَانِ أخْضَرَانِ. (رواه أبو داودوالترمذي بإسنادصحيح)[4]4
Artinya: Dari Abu Rimtsah Rifaah
at-taimiy R.A. Ia berkata: “saya pernah melihat Rasulullah SAW.memakai dua baju
yang hijau”(H.R Abu Daud dan Tirmidzi)[5]
وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَّ اللهُ عَنْهُ : أنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم دَخَلَ عَامَ الْفَتْحِ مَكَّةَ وَعَلَيْهِ عِمَا مَةٌ سَوْدَاءُ (رواه داود)[6]6
Artinya: Dari Jabir R.A., ia
berkata:”ketika Rasulullah SAW. memasuki kota makkah pada hari penaklukannya,
beliau memakai sorban hitam”(H.R Abu Daud).[7]
عَنْ عَبْدِالْعَزِيْزِبن اَبِيْ رَوَّادِ عَنْ سَاِلِم بن عَبْدِاللهِ عَنْ اَبِيْهِ عَنِ النَّبِيْ صَلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم قَالَ: الْإِسْبَالُ فِيْ الْاِزَارِوَالْقَمِيْصِ وَالْعِمَا مَةِ مِنْ جَرَّمِنْهَا شَيأخيَلاَءِ لَمْ يَنْظُرُاللهِ اَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَا مَةِ (اخرجه ابوداود)[]8
Artinya: Dari Abdul Aziz bin Abu
Ruwad, dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, dari Nabi SAW bersabda:”
hendaknya dipanjangkaan sarung, baju, dan sorban, barang siapa memanjangkan
sesuatu darinya karena sombong Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (H.R Abu Daud)
وَعَنْ البَرَئِ رَضِيَّ االلهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلًيْهِ وَسَلَمَ مَرْبُوْعًا وَلَقَدْ رَاَيْتُهُ فِيْ حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مَا رَاَيْتُ شَيْأً قَطُّ اَحْسَنَ مِنْهُ (اخرجه ابوداود)[9]9
Artinya: Dari Al Barra bin Azib R.A.,
ia berkata: “Tubuh Rasulullah SAW. berukuran sedang. Saya pernah melihat beliau
mengenakan kain merah, dan belum pernah melihat orang yang lebih tampan dari
beliau.”(H.R Abu Daud)[10]
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ : اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم قَالَ اِذَا اَنْتَعَلَ اَحَدْكُمْ فَلْيَبْدَأ بِا لْيَمِيْنِ وَإِذَانَزَعَ فَالْيَبْدَأْ بِالشِّمَالِ وَالْتَكُنُ الْيَمِنِى أَوْ لَهُماَ يُنْتَعَلُ وَآخِرَهُمَايُنْزَعُ(اخرجه ابوداودوالترمذي وقال أبو عيسى هذاحديث حسن صحيح)[11]11
Artinya: dari Abu Hurairah bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda” kalau kamu memakai sandal, pasang yang kanan terlebih
dahulu tetapi kalau membukanya yang kiri buka dahulu, jadi yang kanan adalah
pertama dipasang dan yeng kiri terakhir dibuka.”(HR Abu Daud dan Tirmidzi, dan Abu
Isa berkata ini hadits hasan shahih).
III. PEMBAHASAN
A.Pengertian Pakaian dan Aurat
1. Pengertian Pakaian
Huruf lam ل ,ba’ب dan sin سadalah tiga huruf asli yang menunjuk pada pengertian tutup atau menutupi. Secara denotatif kata al-libas الباس berarti pakaian yang dikenakan.
2. Pengertian Aurat
Aurat adalah bagian tubuh yang tidak boleh dibuka untuk diperlihatkan. [12]Karena aurat adalah sesuatu yang harus dijaga oleh setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan maka ini adalah sebuah tanggung jawab yang harus dijalankan oleh setiap umat Islam. Sesuatu yang baik akan tetap apik ketika dapat dijaga.
B. Syarat-syarat berpakaian menurut syari’at Islam
Pakaian merupakan salah satu nikmat dan penghormatan yang diberikan Allah kepada anak cucu Adam. Barang siapa mensyukuri nikmat ini, maka dia telah berada dalam batas-batas aturan yang diperbolehkan kepadanya.
Hukum berpakaian ada tiga yaitu wajib, sunnah dan haram. Hukumnya wajib jika untuk menutupi aurat, hukumnya sunnah jika dengan berpakaian itu menjadikannya lebih menarik dan indah dan haram hukumnya karena ada larangan dari Rasulullah.
Pakaian ada dua macam, yaitu pakaian khusus perempuan dan pakaian khusus laki-laki.
Huruf lam ل ,ba’ب dan sin سadalah tiga huruf asli yang menunjuk pada pengertian tutup atau menutupi. Secara denotatif kata al-libas الباس berarti pakaian yang dikenakan.
2. Pengertian Aurat
Aurat adalah bagian tubuh yang tidak boleh dibuka untuk diperlihatkan. [12]Karena aurat adalah sesuatu yang harus dijaga oleh setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan maka ini adalah sebuah tanggung jawab yang harus dijalankan oleh setiap umat Islam. Sesuatu yang baik akan tetap apik ketika dapat dijaga.
B. Syarat-syarat berpakaian menurut syari’at Islam
Pakaian merupakan salah satu nikmat dan penghormatan yang diberikan Allah kepada anak cucu Adam. Barang siapa mensyukuri nikmat ini, maka dia telah berada dalam batas-batas aturan yang diperbolehkan kepadanya.
Hukum berpakaian ada tiga yaitu wajib, sunnah dan haram. Hukumnya wajib jika untuk menutupi aurat, hukumnya sunnah jika dengan berpakaian itu menjadikannya lebih menarik dan indah dan haram hukumnya karena ada larangan dari Rasulullah.
Pakaian ada dua macam, yaitu pakaian khusus perempuan dan pakaian khusus laki-laki.
Adapun syarat yang harus dipenuhi
dalam mengenakan pakaian bagi perempuan, yaitu
1. Menutupi seluruh anggota tubuh
kecuali bagian-bagian tertentu yang boleh diperlihatkan.
2. Pakaian itu tidak menjadi fitnah pada dirinya.
3. Pakaian itu tebal dan tidak transparan sehingga bagian dalam tubuh tidak terlihat
4. Pakaian tersebut tidak ketat atau sempit sehingga tidak membentuk lekukan- lekukan tubuh yang dapat menimbulkan daya rangsang bagi laki-laki.
5. Tidak menyerupai pakaian laki-laki
6. Tidak menyerupai pakaian orang kafir
7. Tidak terlalu berlebihan atau mewah
2. Pakaian itu tidak menjadi fitnah pada dirinya.
3. Pakaian itu tebal dan tidak transparan sehingga bagian dalam tubuh tidak terlihat
4. Pakaian tersebut tidak ketat atau sempit sehingga tidak membentuk lekukan- lekukan tubuh yang dapat menimbulkan daya rangsang bagi laki-laki.
5. Tidak menyerupai pakaian laki-laki
6. Tidak menyerupai pakaian orang kafir
7. Tidak terlalu berlebihan atau mewah
Mengenai pakaian laki-laki juga ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu
1.
Pakaian tidak terbuat dari sutera murni
2. Tidak berlebihan atau mewah
3. Tidak menyerupai pakaian wanita
4. Tidak memberikan gambaran bentuk tubuh atau aurat dan tidak perlu memperlihatkannya.
5. Hendaknya panjang pakaian tidak melebihi kedua mata kaki. [13]
C. Fungsi pakaian
Untuk memahami kembali fungsi-fungsi busana, dapat diperjelas lagi ilustrasi berikut:
1.Busana Sebagai Penutup Aurat
Aurat dalam al-Qur’an disebut sau’at yang terambil dari kata sa’a, yasu’u yang berarti buruk, tidak menyenangkan. Kata ini sama maknanya dengan aurat yang terambil dari kata ar yang berarti onar, aib, tercela. Keburukan yang dimaksud tidak harus dalam arti sesuatu yang pada dirinya buruk, tetapi bisa juga karena adanya faktor lain yang mengakibatkannya buruk. Tidak satu pun dari bagian tubuh yang buruk karena semuanya baik dan bermanfaat termasuk aurat. Tetapi bila dilihat orang, maka “keterlihatan” itulah yang buruk.
2. Fungsi Busana sebagai Perhiasan
Perhiasan merupakan sesuatu yang dipakai untuk memperelok (memperindah). Tentunya pemakaiannya sendiri harus lebih dahulu menganggap bahwa perhiasan tersebut indah, kendati orang lain tidak menilai indah atau pada hakikatnya memang tidak indah. Al-Qur’an tidak menjelaskan apalagi merinci apa yang disebut perhiasan, atau sesuatu yang “elok”. Sebagian pakar menjelaskan bahwa sesuatu yang elok adalah yang menghasilkan kebebasan dan keserasian. Kebebasan haruslah disertai tanggung jawab, karena keindahan harus menghasilkan kebebasan yang bertanggung jawab. Tentu saja pendapat tersebut dapat diterima atau ditolak sekalipun keindahan merupakan dambaan manusia. Namun harus diingat pula bahwa keindahan sangat relatif, tergantung dari sudut pandang masing-masing penilai.
Hakikat ini merupakan salah satu sebab mengapa al-Qur’ân tidak menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah atau elok. Wahyu kedua yang dinilai oleh ulama sebagai ayat-ayat yang mengandung informasi pengangkatan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai Rasul antara lain menuntunnya agar menjaga dan terus-menerus meningkatkan kebersihan pakaiannya (Q.S. al-Mudatsir (74): 4). Memang salah satu unsur multak keindahan adalah kerbersihan. Itulah sebabnya mengapa Nabi Muhammad S.a.w. senang memakai pakaian putih, bukan saja karena warna ini lebih sesuai dengan iklim Jazirah Arab yang panas, melainkan juga karena warna putih segera menampakkan kotoran, sehinga pemakaiannya akan segera terdorong untuk mengenakan pakaian lain yang bersih.[14]
D. Warna Pakaian yang Paling Disukai Nabi
Warna pakaian yang disukai oleh Nabi saw adalah hijau karena warna ini merupakan warna pakaian disurga. Ada yang mengatakan bahwa memandang kehijauan dan air yang mengalir dapat menguatkan pengllihatan. Karena hasiatnya itulah, warna hijau menjadi warna yang paling dsukai oleh rasulullah. Ibnu Baththal menngatakan, “Dengan Rasuliullah menyukainya saja sudah cukup bagi warna ini kemuliaan dan alasan disukai.” Qatadah menuturkan, “Suatu hari kami pergi bersama Anas r.a kesuatu tempat. Lalu ketika kami sampai disana seseorang berujar, ‘Betapa indah kehijauan ini.’ Maka ketika itu Anas berkata, ‘kita sudah pernah membicarakan bahwa warna yang paling disukai oleh Nabi SAW. adalah hijau.”[15]
E. Etika berpakaian
Etika berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti karakter, atau adat kebiasaan yang mana etika berhubungan erat dengan konsep penilai kebenaran atau evaluasi terhadap sesuatu yang telah dilakukan. Dalam berpakaian ada beberapa etika yang harus diperhatikan oleh seorang muslim, diantaranya:
1. Membaca doa
2. Disunnahkan untuk mendahulukan anggota tubuh yang bagian kanan dalam mengenakan pakaian
3. Memakai pakaian yang rapi dan sopan yang sesuai dengan tempat
4. Disunnahkan melepaskan pakaian dari sebelah kiri.
Jadi dalam mengenakan pakaian tidak hanya sekedar langsung memakai pakaian tersebut, melainkan ada beberapa aturan-aturan yang harus diperhatikan sebelumnya.
Sangat dianjurkan memakai pakaian dari sebelah kanan lalu sebelah kiri, dan melepaskannya dari sebelah kiri lalu kanan. Dan sebenarnya tidak hanya dalam hal berpakaian saja tapi dalam mengerjakan semua hal sanagat dianjurkan melakukannya dengan yang kanan terlebih dahulu, seperti, makan, wudlu, hingga memakai sandal pun harus didahulukan yang kanan, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi tentang tata cara mengenakan sandal. Bahwa itu merupakan mengarahkan segala sesuatunya, menuju ke yang sebelah kanan. Dimana sebelah kanan, merupakan perlambang dari "Ashabul yamin", golongan kanan, atau golongan yang baik. Dan sebelah kiri umumnya adalah perlambang dari "Ashabul shima", atau golongan kiri, atau golongan yang menjadi lawan dari baik.
Pahamilah perlambang "KANAN" dan "KIRI" ini, bahwa itu merupakan pemahaman secara tersirat, bahwa semua tindakan kita, laku kita, akhlak kita, haruslah diarahkan pada hal-hal yang baik, yaitu golongan orang-orang yang mendapatkan petunjuk Allah dan mengerjakannya.
[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: Depag RI, 2007), hlm.376.
[2] Imam al-hafidz Abi Daud Sulaiman al-Asyats, Sunan Abi Daud ,(Beirut,darul kutub al-ilmiyah,1416H, Juz 3), hlm.54.
[3] Achmad Sunarto, Riyadhus Shalihin, terj.Riyadhus shalihin oleh Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi(Jakarta:Pustaka Amani:1999), jilid 1, hlm. 705
[4] Jamaluddin asy-syuyuthi,Sunan an-nasa’i,(Beirut,darul kutub al-ilmiyah.t.t, Juz 7).hlm.204.
[5] Achmad Sunarto, Riyadhus Shalihin, terj.Riyadhus shalihin oleh Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi(Jakarta:Pustaka Amani:1999), jilid 1, hlm. 707
[6]Imam al-hafidz Abi Daud Sulaiman al-Asyats, Sunan Abi Daud ..., hlm57.
[7]Achmad Sunarto, Riyadhus Shalihin, terj.Riyadhus shalihin oleh Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi(Jakarta:Pustaka Amani:1999), jilid 1, hlm. 707
[8] Imam al-hafidz Abi Daud Sulaiman al-Asyats, Sunan Abi Daud...,hlm.62
[9] Imam al-hafidz Abi Daud Sulaiman al-Asyats, Sunan Abi Daud...,hlm.56.
[10] Al-imam abu zakaria yahya bin syaraf an nawawi,terbitan darul fikr,beirut t.t. Penerjemah achmad sunarto,pustaka amani ,jakarta cet.IV.jlid 1,hlm 706.
[11] Imam al-hafidz Abi Daud Sulaiman al-Asyats, Sunan Abi Daud...,hlm.72
[12] Muhammad Sahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontenporer, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008) hlm.485-486.
[13] Syaikh Sa’ad Yusuf Abu Aziz,Buku Pintar Sunnah dan Bid’ah,(Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar,t.t), hlm448-452.
[14] Diaz Corner, Fungsi Pakaian Dalam Ajaran Islam, http://diaz2000.multiply.com/ diunduh pada hari minggu,25-11-2012 pukul 10.35 WIB
[15]Nur Faizah Dimyathi, Maadza Yuhibbu an Nabi Muhammad saw. Wa Maadza Yukhrihu, Trj. , Maadza Yuhibbu an Nabi Muhammad saw. Wa Maadza Yukhrihu, Oleh AdnanTharsyah (Jakarta, Gema Insani, 2006), hlm. 583Sebelum kami memaparkan ayat-ayat Al-Qur’an seputar kewajiban menutupi ‘aurat bagi wanita, ada baiknya kami menyebutkan beberapa pengantar berikut ini:
2. Tidak berlebihan atau mewah
3. Tidak menyerupai pakaian wanita
4. Tidak memberikan gambaran bentuk tubuh atau aurat dan tidak perlu memperlihatkannya.
5. Hendaknya panjang pakaian tidak melebihi kedua mata kaki. [13]
C. Fungsi pakaian
Untuk memahami kembali fungsi-fungsi busana, dapat diperjelas lagi ilustrasi berikut:
1.Busana Sebagai Penutup Aurat
Aurat dalam al-Qur’an disebut sau’at yang terambil dari kata sa’a, yasu’u yang berarti buruk, tidak menyenangkan. Kata ini sama maknanya dengan aurat yang terambil dari kata ar yang berarti onar, aib, tercela. Keburukan yang dimaksud tidak harus dalam arti sesuatu yang pada dirinya buruk, tetapi bisa juga karena adanya faktor lain yang mengakibatkannya buruk. Tidak satu pun dari bagian tubuh yang buruk karena semuanya baik dan bermanfaat termasuk aurat. Tetapi bila dilihat orang, maka “keterlihatan” itulah yang buruk.
2. Fungsi Busana sebagai Perhiasan
Perhiasan merupakan sesuatu yang dipakai untuk memperelok (memperindah). Tentunya pemakaiannya sendiri harus lebih dahulu menganggap bahwa perhiasan tersebut indah, kendati orang lain tidak menilai indah atau pada hakikatnya memang tidak indah. Al-Qur’an tidak menjelaskan apalagi merinci apa yang disebut perhiasan, atau sesuatu yang “elok”. Sebagian pakar menjelaskan bahwa sesuatu yang elok adalah yang menghasilkan kebebasan dan keserasian. Kebebasan haruslah disertai tanggung jawab, karena keindahan harus menghasilkan kebebasan yang bertanggung jawab. Tentu saja pendapat tersebut dapat diterima atau ditolak sekalipun keindahan merupakan dambaan manusia. Namun harus diingat pula bahwa keindahan sangat relatif, tergantung dari sudut pandang masing-masing penilai.
Hakikat ini merupakan salah satu sebab mengapa al-Qur’ân tidak menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah atau elok. Wahyu kedua yang dinilai oleh ulama sebagai ayat-ayat yang mengandung informasi pengangkatan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai Rasul antara lain menuntunnya agar menjaga dan terus-menerus meningkatkan kebersihan pakaiannya (Q.S. al-Mudatsir (74): 4). Memang salah satu unsur multak keindahan adalah kerbersihan. Itulah sebabnya mengapa Nabi Muhammad S.a.w. senang memakai pakaian putih, bukan saja karena warna ini lebih sesuai dengan iklim Jazirah Arab yang panas, melainkan juga karena warna putih segera menampakkan kotoran, sehinga pemakaiannya akan segera terdorong untuk mengenakan pakaian lain yang bersih.[14]
D. Warna Pakaian yang Paling Disukai Nabi
Warna pakaian yang disukai oleh Nabi saw adalah hijau karena warna ini merupakan warna pakaian disurga. Ada yang mengatakan bahwa memandang kehijauan dan air yang mengalir dapat menguatkan pengllihatan. Karena hasiatnya itulah, warna hijau menjadi warna yang paling dsukai oleh rasulullah. Ibnu Baththal menngatakan, “Dengan Rasuliullah menyukainya saja sudah cukup bagi warna ini kemuliaan dan alasan disukai.” Qatadah menuturkan, “Suatu hari kami pergi bersama Anas r.a kesuatu tempat. Lalu ketika kami sampai disana seseorang berujar, ‘Betapa indah kehijauan ini.’ Maka ketika itu Anas berkata, ‘kita sudah pernah membicarakan bahwa warna yang paling disukai oleh Nabi SAW. adalah hijau.”[15]
E. Etika berpakaian
Etika berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti karakter, atau adat kebiasaan yang mana etika berhubungan erat dengan konsep penilai kebenaran atau evaluasi terhadap sesuatu yang telah dilakukan. Dalam berpakaian ada beberapa etika yang harus diperhatikan oleh seorang muslim, diantaranya:
1. Membaca doa
2. Disunnahkan untuk mendahulukan anggota tubuh yang bagian kanan dalam mengenakan pakaian
3. Memakai pakaian yang rapi dan sopan yang sesuai dengan tempat
4. Disunnahkan melepaskan pakaian dari sebelah kiri.
Jadi dalam mengenakan pakaian tidak hanya sekedar langsung memakai pakaian tersebut, melainkan ada beberapa aturan-aturan yang harus diperhatikan sebelumnya.
Sangat dianjurkan memakai pakaian dari sebelah kanan lalu sebelah kiri, dan melepaskannya dari sebelah kiri lalu kanan. Dan sebenarnya tidak hanya dalam hal berpakaian saja tapi dalam mengerjakan semua hal sanagat dianjurkan melakukannya dengan yang kanan terlebih dahulu, seperti, makan, wudlu, hingga memakai sandal pun harus didahulukan yang kanan, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi tentang tata cara mengenakan sandal. Bahwa itu merupakan mengarahkan segala sesuatunya, menuju ke yang sebelah kanan. Dimana sebelah kanan, merupakan perlambang dari "Ashabul yamin", golongan kanan, atau golongan yang baik. Dan sebelah kiri umumnya adalah perlambang dari "Ashabul shima", atau golongan kiri, atau golongan yang menjadi lawan dari baik.
Pahamilah perlambang "KANAN" dan "KIRI" ini, bahwa itu merupakan pemahaman secara tersirat, bahwa semua tindakan kita, laku kita, akhlak kita, haruslah diarahkan pada hal-hal yang baik, yaitu golongan orang-orang yang mendapatkan petunjuk Allah dan mengerjakannya.
[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: Depag RI, 2007), hlm.376.
[2] Imam al-hafidz Abi Daud Sulaiman al-Asyats, Sunan Abi Daud ,(Beirut,darul kutub al-ilmiyah,1416H, Juz 3), hlm.54.
[3] Achmad Sunarto, Riyadhus Shalihin, terj.Riyadhus shalihin oleh Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi(Jakarta:Pustaka Amani:1999), jilid 1, hlm. 705
[4] Jamaluddin asy-syuyuthi,Sunan an-nasa’i,(Beirut,darul kutub al-ilmiyah.t.t, Juz 7).hlm.204.
[5] Achmad Sunarto, Riyadhus Shalihin, terj.Riyadhus shalihin oleh Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi(Jakarta:Pustaka Amani:1999), jilid 1, hlm. 707
[6]Imam al-hafidz Abi Daud Sulaiman al-Asyats, Sunan Abi Daud ..., hlm57.
[7]Achmad Sunarto, Riyadhus Shalihin, terj.Riyadhus shalihin oleh Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi(Jakarta:Pustaka Amani:1999), jilid 1, hlm. 707
[8] Imam al-hafidz Abi Daud Sulaiman al-Asyats, Sunan Abi Daud...,hlm.62
[9] Imam al-hafidz Abi Daud Sulaiman al-Asyats, Sunan Abi Daud...,hlm.56.
[10] Al-imam abu zakaria yahya bin syaraf an nawawi,terbitan darul fikr,beirut t.t. Penerjemah achmad sunarto,pustaka amani ,jakarta cet.IV.jlid 1,hlm 706.
[11] Imam al-hafidz Abi Daud Sulaiman al-Asyats, Sunan Abi Daud...,hlm.72
[12] Muhammad Sahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontenporer, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008) hlm.485-486.
[13] Syaikh Sa’ad Yusuf Abu Aziz,Buku Pintar Sunnah dan Bid’ah,(Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar,t.t), hlm448-452.
[14] Diaz Corner, Fungsi Pakaian Dalam Ajaran Islam, http://diaz2000.multiply.com/ diunduh pada hari minggu,25-11-2012 pukul 10.35 WIB
[15]Nur Faizah Dimyathi, Maadza Yuhibbu an Nabi Muhammad saw. Wa Maadza Yukhrihu, Trj. , Maadza Yuhibbu an Nabi Muhammad saw. Wa Maadza Yukhrihu, Oleh AdnanTharsyah (Jakarta, Gema Insani, 2006), hlm. 583Sebelum kami memaparkan ayat-ayat Al-Qur’an seputar kewajiban menutupi ‘aurat bagi wanita, ada baiknya kami menyebutkan beberapa pengantar berikut ini:
Pertama
Syeikh Ibn Hajar
dalam kitabnya Al-i’lam bi Qawathi’il Islam (hal. 164)
berkata: “Sesungguhnya orang yang menolak sebuah ketentuan hukum yang
dinyatakan melalui redaksi yang cukup tegas dan jelas dalam Al-Qur’an maupun
Sunnah, dan ketentuan tersebut telah pasti maknanya serta dapat dipahami secara zhahir, maka
orang tersebut telah kafir, seperti disepakati oleh ulama Islam.”
Masih dalam kitab
yang sama (hal.94) Ibn Hajar menuturkan “Di antara penyebab kekafiran seseorang
adalah ketika ia menghalalkan sesuatu yang hukumnya haram menurut kesepakatan
ulama, seperti meminum minuman keras dan perbuatanliwath (homoseks)
jika hal itu diketahui dari agama secara pasti.”
Selanjutnya pada halaman 150 beliau
juga menuturkan: “Barang siapa menyepelekan suatu hukum syariat Islam, maka
sungguh ia telah kafir.”
Kedua
Apabila makna suatu
kata memiliki dua kemungkinan; salah satunya bermakna hakiki, yakni
makna yang sesungguhnya, dan yang satunya lagi bermakna majazi yakni
metafor, maka selagi tidak ditemukan adanya konteks yang mendukung salah satu
dari makna tersebut, maka kita cukup mengartikannya dengan makna kata tersebut
yang sesungguhnya, yakni makna dasarnya.
Misalnya ketika
seseorang berkata, “Tadi aku melihat seekor singa” maka kita yang mendengar
ucapan tersebut, cukup mengartikan kata ‘singa’ pada kalimat di atas dengan
arti kata tersebut yang sesungguhnya, yakni bahwa orang itu telah melihat
seekor binatang buas yang bernama singa. Kita tentu tidak akan mengartikan kata
‘singa’ tersebut dengan artinya yang majazi,yakni ungkapan kiasan bagi
seorang pemberani, kecuali jika ada konteks kalimat yang membenarkan
pengartiannya dengan ‘seorang pemberani.’ Lain halnya ketika dengan ucapan
berikut ini: “Aku melihat ‘singa’ itu sedang berduel melawan musuh Allah.”
Maka, konteks kalimat tersebut membenarkan kita untuk mengartikan kata ‘singa’
dalam arti seorang pemberani.”
Selanjutnya apabila
sebuah dalil memiliki kemungkinan dua makna, salah satunya
bersifat zhahir dan satunya lagi bermaknabathin maka
sudah seharusnya kita memaknai dalil tersebut dengan makna yang lebih dekat
secara bahasa. Kita tidak boleh memaknainya dengan makna jauh yang tidak zhahir, yakni
mentakwil makna kata tersebut, kecuali setelah adanya alasan akan pemaknaan
demikian. Dalil tersebut MEWAJIBKAN WANITA UNTUK baru boleh dimaknai dengan
maknanya yang jauh, dengan syarat makna yang jauh tersebut sesuai dengan
makna bahasa yang ada.
Demikian garis besar
penjelasan pengarang kitab Jam’ul Jawami beserta syarah-nya, (hal.
254/ 2, 313/ 1).
*****
Ayat-Ayat Al Qur’an
Yang Mewajibkan Wanita Untuk Menutup ‘Auratnya, serta Batasan-batasan ‘Auratnya
Ayat Pertama :
يَٰٓـأَيـُّهَا ٱلنَّبِيُّ قـُل لـِّأَزۡوَٰجِكَ وَبَنـَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡـمُؤۡمِنِينَ يُدْنِينَ عَلـَيۡهـِنَّ مِن جَلَٰبـِيبـِهـِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنـَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فـَلـَا يُؤذيۡنَ ۗ وَكـَانَ اللهُ غـَفـُورًا رَّحِيمًا (الأحزاب : ٥٩
Hai Nabi, katakanlah
kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita (keluarga)
orang-orang mukmin, agar mereka mengulurkan atas diri mereka (ke seluruh tubuh
mereka) jilbab mereka. Hal itu menjadikan mereka lebih mudah dikenal (sebagai
para wanita muslimah yang terhormat dan merdeka) sehingga mereka tidak
diganggu. Dan Allah senantiasa Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
QS. al-Ahzab ayat: 59
Pandangan Mufasir Ibn
Katsir
Pada saat menafsirkan
ayat ini, Ibn Katsir berkata: “Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan
Rasulnya Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam untuk memerintah
kaum wanita mukminah untuk mengenakan jilbab, pakaian longgar
yang menutupi baju mereka, ke seluruh tubuh mereka, agar mereka tampil berbeda
dengan ciri-ciri kaum wanita Jahiliyah. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan bahwa
Ibn Abbas pernah berkata, Allah memerintahkan kaum wanita mukminah pada saat
pergi keluar rumah mereka untuk suatu keperluan, agar menutupi wajah mereka
dari atas kepala mereka dengan jilbab dan hanya memperlihatkan
sebelah matanya saja. Muhammad Ibn Sirin pernah bertanya kepada Abidah
As-Salamani tentang maksud ayat 59 surah Al-Ahzab di atas, lalu ‘Ubaidah
mengangkat semacam selendang yang dipakainya dan memakainya sambil menutup
seluruh kepalanya hingga menutupi pula kedua alisnya dan menutupi wajahnya,
dengan hanya memperlihatkan mata kirinya saja. Ibn Abi Hatim dengan sanadnya
menyebutkan bahwa, Pada saat ayat di atas turun, kaum wanita Anshar pergi
keluar dan seakan-akan burung- burung gagak bertengger di atas kepala mereka,
saking tenangnya mereka; dan ketika itu mereka mengenakan pakaian-pakaian
berwarna hitam.”
Pandangan Abu Hayyan
Pada saat menafsirkan ayat ini Abu
Hayyan dalam Al-Bahrul Muhith-nya (hal.250/ 7) menuturkan: “Firman- Nya: agar
mereka mengulurkan atas diri mereka (ke seluruh tubuh mereka) jilbab mereka
artinya agar mereka dikenal selalu menutupi aurat mereka sehinga mereka tampil
dengan ketertutupan aurat, kesucian dan keterpeliharaan diri mereka sehingga
tidak ada satu pun para pelaku maksiat yang berhasrat kepada mereka. Lain
halnya dengan wanita yang selalu bersolek dan mempertontonkan keindahannya,
karena wanita semacam ini umumnya selalu menjadi obyek hasrat mereka.
Diriwayatkan dari Ibn Jarir bahwa Ibn Abbas (ra) berkata, Hijab dililitkan di
atas dahi lalu ditarik dan dibelokkan ke atas hidung. Meski kedua matanya
tampak, namun hijab tersebut menutupi dada dan bagianwajahnya secara umum.
Demikianlah pula kebiasan penduduk Andalusi, tidak tampak dari kaum wanita di
negeri itu kecuali sebelah matanya saja.”
Pandangan Mufassir
Al-Baidhawi
Dalam Tafsir- nya
Al-Baidhawi (hal. 386/4) menyebutkan: “Firman-Nya, ‘agar mereka
mengulurkan atas diri mereka (ke seluruh tubuh mereka) jilbab mereka artinya
mereka menutupi wajah mereka dengan pakaian yang menyerupai selimut, di saat
mereka hendak pergi keluar rumah untuk suatu keperluan.”
*****
Pandangan Ash-Shabuni
dalam Kitabnya Tafsyir Ayatul Ahkam
Pertama, Apakah mengenakan
hijab itu hukumnya wajib bagi seluruh wanita?
Jawabannya: zhahir
dari ayat diatasyangbunyinya: ” Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu…”dan
seterusnya menunjukkan bahwa mengenakan hijab hukumnya wajib bagi seluruh kaum
wanita mukminah.
Kedua, Bagaimana cara
mengenakan hijab?
Allah (swt) memerintahkan kaum mukminah
untuk mengenakan hijab dan jilbab, hal ini diriwayatkan dari Ibn Jarir Muhammad
Ibn Sirin pernah bertanya kepada ‘Ubaidah As-Salmaani tentang maksud ayat 59
surah Al- Ahzab di atas, lalu ‘Ubaidah mengangkat semacam selendang yang
dipakainya dan memakainya sambil menutup seluruh kepalanya hingga menutupi pula
kedua alisnya dan menutupi wajahnya, dengan hanya memperlihatkan mata kirinya
saja! Tafsir Ath-Thabari dan Al-Khazin.
Juga Abdur Razzaq dan sekelompok perawi
meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa ketika ayat 59 surah Al-Ahzab ini turun
kaum wanita Anshar keluar dari rumah-rumah mereka seakan di atas kepala mereka
bertengger burung-burung gagak, karena mereka mengenakan pakaian-pakaian
berwarna hitam.
AYAT KEDUA
وَقـُل لـِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡـفـَظۡنَ فـُرُوجَهُنَّ وَلـَا يُبۡـدِينَ زِينَتـَهُنَّ إِلـَّا مَا ظـَهَرَ مِنۡهَا ۖ وَلۡـيَضۡرِبۡنَ بـِخُمُرِهـِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهـِنَّ ۖ … (النور : 31)
Katakanlah (wahai Nabi Muhammad) kepada
wanita- wanita mukminah, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan
memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan hiasan (pakaian,
atau bagian tubuh) mereka kecuali yang (biasa) nampak darinya dan hendaklah
mereka menutupkan kerudung mereka ke dada mereka (QS. an-Nur [24]: 31).
Ayat ini merupakan seruan kepada
seluruh kaum mukminah baik mereka ibu-ibu kaum mukminin atau selain mereka,
entah mereka bangsa Arab maupun non- Arab.
Pandangan Mufassir
Ibn Katsir
“Firman-Nya, ‘dan
janganlah mereka menampakkan hiasan (pakaian, atau bagian tubuh) mereka kecuali
yang (biasa) nampak darinya’ yakni mereka tidak memperlihatkan
sedikitpun hiasan yang menampilkan keindahan mereka kepada pria asing yang
bukan muhrim, kecuali hiasan yang tidak dapat disembunyikan. Ibn Mas’ud (ra)
memahami makna hiasan yang boleh nampakadalah pakaian yakni
yang umumnya digunakan wanita- wanita Arab. Sedangkan yang terlihat dari bawah
pakaian mereka, hal itu diperbolehkan karena ia tak dapat disembunyikan. Dalam
hal ini yang sependapat dengan Ibn Mas’ud adalah Al-Hasan, Ibn Sirin, Abu
Jawza, Ibrahim An-Nakha’i dan selain mereka. Al-A’masy meriwayatkan dari Sa’id
bin Jubair pendapat Ibn ‘Abbas bahwa yang boleh nampak adalah wajah, kedua
telapak tangan dan cincin wanita. Riwayat lain yang dinisbatkan kepada Ibn
‘Abbas menyebutkan bahwa maksud dari hiasan yang boleh nampak di
sini adalah pakaian yang terlihat. Malik dari Az-Zuhri meriwayatkan bahwa yang
dimaksud dengan hiasan yang boleh nampak di sini cincin dan
gelang kaki wanita.”
“Sedangkan
firman-Nya, ‘dan hendaklah mereka menutupkan kerudung mereka ke dada
mereka’ yakni menutupi kepala mereka sampai ke dada mereka dengan
kerudung. Khimâradalah sesuatu yang dijadikan sebagai penutup
kepala yang menjulur ke dadanya sehingga dada dan lehernya, sehingga dengan
demikian kaum wanita mukminah berbeda dengan kaum wanita Jahiliyyah yang tidak
melakukan hal itu, bahkan mereka biasa berlalu melintas di depan kaum lelaki
dalam keadaan dada-dada mereka terbuka sehingga tidak ada sedikitpun yang
tersembunyi darinya. Atau boleh jadi mereka memperlihatkan leher mereka,
jambul-jambul kepala, dan anting telinga mereka. Karena itu Allah SWT
memerintahkan kaum mukminah untuk menutupi ‘aurat mereka dalam bentuk dan kondisi
mereka yang tersendiri, berbeda dengan wanita selain mereka. Al-Bukhâri
meriwayatkan bahwa pernah suatu saat Aisyah (ra) berkata, ‘Semoga Allah
merahmati kaum mukminah dari kalangan Muhajiraat generasi pertama ketika Allah
menurunkan firman-Nya, ‘dan hendaklah mereka menutupkan kerudung mereka
ke dada mereka’ ketika itu mereka serta-merta memotong dan kain-kain
mereka lalu mereka mengenakannya (sebagai penutup kepala sampai ke dada mereka,
sesuai perintah Allah SWT pada ayat tersebut—pent.). Melalui
sanadnya Ibn Abi Hatim meriwayatkan bahwa Aisyah (ra) berkata, ‘Pada saat Allah
SWT menurunkan firman-Nya, ‘dan hendaklah mereka menutupkan
kerudung mereka ke dada mereka’ kaum pria kembali ke rumah-rumah
mereka seraya membacakan ayat tersebut kepada istri-istri mereka. Maka, tak ada
seorangpun dari para istri tersebut melainkan segera mengambil kain dan
memakainya, sebagai bentuk keimanan dan pembenaran mereka atas firman-Nya.
Mereka lantas berada di belakang Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi
wa salam dengan mengenakan penutup kepala seperti yang Allah
SWT perintahkan tadi, seakan di atas kepala-kepala mereka bertengger
burung-burung gagak.”
AYAT KETIGA
…وَإذا سَأَلۡـتـُمُوهُنَّ مَتَٰعًا فـَسۡـئَلـُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍۚ ذَٰلِكُمۡ أَطۡهَرُ لِقـُلـُوبـِكـُمۡ وَقـُلـُوبِهـِنَّ ۚ … (الأحزاب : 53
Dan apabila kamu
meminta sesuatu kepada mereka (istri- istri Nabi), maka mintalah dari belakang
tabir (yang menutupi kalian dan mereka). Cara yang demikian itu lebih suci bagi
hati kamu dan hati mereka. (QS. al-Ahzab [33]: 53)
Ayat di atas adalah
seruan kepada kalangan ibu-ibu kaum mukminah, yakni istri-istri Rasulullah
Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Meski demikian, ayat ini
berlaku umum untuk setiap wanita mukminah, mengingat penggalan akhir ayat di
atas yang berbunyi, Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kamu
dan hati mereka, yang merupakan satu-satunya bukti bahwa ayat tersebut
berlaku umum bagi setiap wanita mukminah. Karena itu, tidak ada satu orang pun
dari kalangan muslimin yang mengatakan bahwa selain wanita istri-istri Nabi
Muhammad (saw) tidak membutuhkan kesucian hati mereka dan hati para kaum
laki-laki.
Dalam ilmu Ushul
Fiqh ditetapkan bahwa ‘Ulat pemberlakuan suatu hukum
itu sifatnya universal, umum tidak terbatas hanya pada ma’lul-nya
saja. Dalam Maraqi As-Su’ud disebutkan, ‘Suatu ‘illat bisa
bersifat khusus atau umum, namun tak dapat dibatasi pada ma’lul-nya
saja.’ Demikian disebutkan dalam Adhwa’ul Bayan (hal. 383/ 6).
AYAT KEEMPAT
وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكـُنَّ وََلا تَبَرُّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلأوْلَىٰۖ … (الأحزاب : 33
“Dan tetaplah kamu
(tinggal) di rumah kamu dan janganlah kamu bertabarruj (berhias dan bertingkah
laku) seperti tabarruj Jahiliah pertama….”
(QS. al-Ahzab ayat: 33).
Dalam tafsirnya,
Al-Baghawi mengartikan kata wa qarna dengan tetaplah selalu
berada di rumah kalian. Sedangkan tabarrujdipahaminya sebagai
berjalan lenggak-lenggok, berpenampilan penuh keangkuhan. Ada juga yang
mengartikannya sebagai memperlihatkan hiasan dan keindahan kepada kaum pria.
Sedangkan maksud dari Jahiliyah pertama adalah masa di antara NabiIsa dan Nabi
Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam. Ada juga yang
berpendapat masa Nabi Daud (as) dan Sulaiman (as), dan ada lagi yang
mengartikannya sebagai masa sebelum Islam. Lawan dari Jahiliyah pertama adalah
Jahiliyah kedua, yakni pada saat sekelompok umat manusia di akhir zaman
melakukan pekerjaan seperti yang di lakukan di masa Jahiliyah pertama, di mana
kaum wanita ketika itu mengenakan pakaian yang dihiasi permata, tidak dijahit
dari kedua sisinya.
Mengomentari ayat di atas, Ibn Katsir
dalam tafsirnya (hal. 48/ 3) berkata, “Ini merupakan sekumpulan ketentuan etika
yang Allah SWT perintahkan istri-istri Nabi Shalallahu alaihi wa aalihi wa
shahbihi wa salam untuk berpedoman kepada ketentuan- ketentuan tersebut.
Dalam hal ini, segenap kaum wanita muslimah juga tergolong ke dalam kelompok
mereka yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam ayat tersebut.
AYAT KELIMA
وَٱلۡـقَوَٰعِدُ مِنَ ٱلنـِّسَآءِ ٱلـّتِي لا يَرۡجُونَ نِكـَاحًا فَلَيۡسَ عَلَيۡهـِنَّ جُنـَاحٌ أَن يَضَعۡنَ ثِيَابَهُنَّ غَيۡرَ مُتـَبَرِّجَٰتِۢ بِزِينَةۖ وَأَن يَسۡـتَعۡـفِفۡنَ خَيۡـرٌ لـَّهُنَّۗ وَ اللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (النور: ٦٠ )
Dan perempuan-perempuan
tua yang telah terhenti (dari haid) yang biasanya tidak berhasrat lagi menikah,
maka tidaklah ada dosa atas mereka untuk menanggalkan pakaian (luar) mereka
(yang biasa pakai di atas pakaian yang lain yang menutupi aurat mereka) dengan
(tidak bermaksud) menampakkan perhiasan (angota tubuh yang diperintahkan Allah
untuk ditutup) dan memelihara (diri mereka) sungguh-sungguh dengan menjaga
kesucian adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (QS. an-Nur [24]: 60)
Ketika menafsirkan
ayat di atas, Ibnul ‘Arabi dalam kitabnya Ahkamul Qur’an (hal.
1401/ 3) berkata: “Mereka adalah wanita-wanita yang telah masuk usia tua yang
tidak lagi mengalami haid, tidak pula dapat melahirkan. Bahwa yang dimaksud
dari ‘melepaskan pakaian itu’ pada ayat di atas adalah: Salah satunya
mengandung arti Jilbab yakni pakaian longgar yang menutupi
baju dan kerudungnya. Sedangkan makna kedua dari kalimat ‘melepaskan pakaian
diatas itu ‘ adalah melepas kerudungnya di rumahnya dan dari belakang tabir
penghalang baik berupa baju kain atau dinding. Sementara makna firman-Nya dengan
(tidak bermaksud) menampakkan perhiasan yakni tidak memperlihatkan
anggota tubuh yang Allah perintahkan untuk ditutup, tidak pula mengenakan
perhiasan sehingga mengundang pandangan kaum pria asing terhadap mereka.
*****
Hadits-hadits Nabi
dan Pendapat Para Ulama Salaf seputar ‘Aurat Wanita
Terdapat sejumlah hadis dan pernyataan
para ulama salaf selain yang telah kami sebutkan di atas di saat menafsirkan
ayat-ayat terkait, tentang sejumlah ketentuan bagi kaum wanita muslimah dalam
hal menutupi ‘aurat serta batasan-batasannya. Antara lain sebagai berikut:
1. Diriwayatkan dari
Bahaz bin Hakim dari kakeknya yang pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai
Rasulullah, bagian manakah dari ‘aurat kami yang boleh kami tutupi dan kami
biarkan tampak?” Rasulullah menjawab, “Jagalah dan jangan kau perlihatkan
‘auratmu kecuali kepada istrimu atau kepada budak sahayamu.” HR. Abu Dawud dan
At- Turmudzi
2. Dari Abu Said
Al-Khudri diriwayatkan bahwa suatu saat Nabi pernah bersabda, “Seorang pria
tidak diperkenankan melihat ‘aurat wanita, begitupula wanita tidak boleh
melihat ‘aurat wanita sesamanya.” HR. Muslim, Abu Daud dan At-Turmdzi.
3. Aisyah (ra)
meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa
salam bersabda, ” Allah tidak akan menerima Shalatnya seorang wanita haid
(baligh) kecuali dengan mengenakan khimar.” Diriwayatkan oleh
lima orang pengarang kitab induk hadits, kecuali An-Nasai.
4. Ibn Umar meriwayatkan
bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa
salam bersabda, “Barang siapa mengenakan pakaian seraya menariknya dengan
maksud tampil dalam keadaan sombong, maka Allah SWT tidak akan melihatnya
kelak di hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya, “Bagaimana dengan yang diperbuat
oleh kaum wanita dengan pakaian mereka yang memiliki ‘ekor?” Rasul Shalallahu
alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam menjawab, “Boleh mengulurkannya
sejengkal”. “Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap” kata Umu Salamah.
“Diulurkan lagi sehasta dan tidak boleh lebih dari itu.” HR. At-Turmudzi dan
dianggap shahih olehnya.
5. Diriwayatkan bahwa
Sayyidina Ali RA pernah berkata, “Aku menghadiahkan kepada Nabi Shalallahu
alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam sebuah pakaian yang mengandung
campuran kain sutera. Nabi kemudian mengembalikannya lagi kepadaku maka aku pun
memakainya. Lantas aku melihat kemurkaan tampak pada wajah Nabi Rasulullah
Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam seraya bersabda,
“Sesungguhnya aku tidak mengembalikannya kepadamu bukan untuk kau pakai,
melainkan untuk kau potong-potong lalu kau jadikan sebagai kerudung bagi kaum
wanita.” Hadits ini disepakati keshahihannya.
6. Ibn Abbas berkata,
“Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam melaknat
kalangan wanita yang meniru-niru gaya kaum pria , begitu pula sebaliknya beliau
melaknat kalangan pria yang meniru-niru gaya kaum wanita.” HR. Al-Bukhari dan
Abu Daud.
7. Anas RA meriwayatkan
bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam pernah
mendatangi putrinya Fatimah Az-Zahra (ra) bersama seorang hamba sahaya yang
telah diberikannya kepada putrinya, sedangkan ketika itu Fatimah mengenakan
kain yang jika dengan pakaian tersebut ia menutupi kepalanya, maka kain penutup
itu tidak sampai kepada kedua kakinya, dan jika kain itu digunakan sebagai
penutup kedua kakinya maka kepalanya tidak tertutupi. Melihat hal demikian
Rasulullah Shalallahu alahi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda,
“Hal itu tidak masalah engkau mengenakan kain penutup tersebut, karena yang ada
di hadapanmu hanyalah ayah dan budak sahayamu.”
8. Disebutkan dalam Fathul
Bari fi Syarh Shahih Al- Bukhari (hal. 248/ 9) disebutkan: “Wanita
dibolehkan keluar dari rumahnya secara kontinyu untuk pergi ke masjid, pasar
dan perjalanan dengan syarat harus dalam keadaan mengenakan niqabpenutup
wajah agar mereka tidak dilihat oleh kaum pria. Sementara kaum pria tidak
diperintahkan demikian. Al-Ghazali berkata, ‘Sebab, kaum pria sepanjang zaman
senantiasa wajah mereka tersingkap sedangkan kaum wanita keluar dalam keadaan
menutup wajah-wajah mereka.’”
9. Masih dari kitab Fathul
Bari fi Syarh Shahih Al-Bukhari (hal.248/ 9) disebutkan, Dari bab
pelarangan kaum pria yang meniru gaya perempuan untuk masuk ke hadapan
perempuan, disimpulkan bahwa kaum wanita seharusnya menutupi wajah mereka dari
siapa saja yang bisa melihat keindahannya.
10. Dalam Hasyiat
Al-Futuhat Al-Ilahiyyah ‘ala Tafsir AL- Jalalayn (hal 436/ 3), Ibn
Arabi berkata, “Saya sudah pernah memasuki sekitar 1000 lebih perkampungan dan
aku tidak pernah melihat satu orang wanitapun berada di jalanan di siang hari
kecuali pada hari Jum’at karena mereka keluar untuk melaksanakan salat Jumat di
mesjid-mesjid. Dan ketika shalat jum’at telah dilaksanakan, mereka kembali ke
rumah-rumah mereka lantas saya tak menemukan satu orang pun dari mereka yang
berada di luar. Saya baru dapat melihat mereka lagi di hari Jum’at yang
berikutnya. Demikian pula, di Masjidil Aqsha saya menemukan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan mereka keluar dari tempat-tempat mereka beritikaf sampai mereka
mati syahid di tempat itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar